Bukan rahasia umum lagi, kawasan timur Indonesia (KTI), termasuk Bali-Nusa Tenggara, mengalami kesenjangan pembangunan. Angka kemiskinan yang tinggi dan kualitas SDM yang rendah adalah potretnya. Pemerintah berjanji akan terus melakukan pemerataan pembangunan dengan mengelola dan mengembangkan kekayaan serta keanekaragaman sumber daya alam, sosial dan budaya kawasan. Lalu bagaimana arah pembangunan nasional di kawasan ini?
Jumlah penduduk wilayah Bali-Nusra sebanyak 14,86 juta jiwa atau 5,54 persen penduduk nasional (BPS,2020). Pertumbuhan ekonomi wilayah ini mencapai 5,07 persen pada 2019, dengan kontribusi sebesar 3,06 persen terhadap nilai PDB nasional. Indikator kesejahteraan tahun 2019 menunjukkan bahwa rata-rata IPM sebesar 69,58, rata-rata tingkat kemiskinan sebesar 12,70 persen, rata-rata tingkat ketimpangan pendapatan sebesar 0,366, dan rata-rata pengangguran pada angka 2,76 persen. Fakta ini mengkonfirmasi persoalan utama di Wilayah Bali-Nusra berkaitan dengan produktivitas SDM dan pemerataan hasil pembangunan.
Grafik. Indikator Kesejahteraan Wilayah di Indonesia Tahun 2019
Kinerja Fiskal Bali-Nusra
Dari sisi fiskal, di tahun 2017 sampai dengan 2019, wilayah Bali-Nusa Tenggara berkontribusi terhadap pendapatan negara dengan rata-rata sebesar 1,0 persen. Dalam periode yang sama,pendapatan negara yang dikontribusikan dari wilayah ini tumbuh sebesar 14,3 persen. Pertumbuhannya berlangsung secara konsisten. Realisasi tahun 2017 sebesar Rp17,8triliun, lalu meningkat menjadi Rp20,3 triliun di tahun 2019.
Penerimaan pajak masih berkontribusi sebagai sumber pendapatan terbesar sekitar 87,1 persen, disusul dengan kontribusi PNBP sebesar 12,9 persen. Optimalisasi pendapatan negara di Bali-Nusa Tenggara dapat terus digali melalui optimalisasi kebijakan pemungutan perpajakan di bidang jasa, serta menggali potensi PNBP berbasis pelayanan publik.
Sementara itu, kontribusi Bali-Nusra terhadap belanja negara rata-rata sebesar 3,3 persen. Pembangunan di wilayah Bali-Nusa Tenggara terus berlanjut untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran yang masing-masing berkontribusi sebesar 8,0 persen dan 2,9 persen dari angka nasional di tahun 2019.
Belanja negara di wilayah ini tumbuh sebesar 11,3 persen. Realisasi belanja negara yang dilaksanakan melalui belanja K/L dan TKDD pada tahun 2019 di wilayah Bali-Nusa Tenggara mencapai Rp81.238,0 miliar atau 4,8 persen dari total belanja K/L dan TKDD, dengan realisasi terbesar berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp34.162,1 miliar. Realisasi belanja tersebut terdiri dari Belanja K/L sebesar Rp29.610,8 miliar dan TKDD sebesar Rp51.627,2 miliar.
Realisasi belanja K/L di wilayah Bali-Nusa Tenggara memiliki proporsi sebesar 3,2 persen dari belanja K/L. Realisasi pada tahun 2017 sebesar Rp24,7 triliun, lalu meningkat 19 persen pada tahun 2019 menjadi Rp29,6 triliun. Realisasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan di wilayah Bali dan Nusa Tenggara mencapai Rp1,2 triliun atau 7,6 persen dari keseluruhan realisasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Sebagian besar dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan kegiatan Kementan sebesar Rp514,7 miliar untuk penyediaan benih tanaman pangan, pengelolaan air irigasi untuk pertanian, penyediaan dan pengawasan alat mesin pertanian, peningkatan produksi sayuran dan tanaman obat, pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, dan pemberdayaan pekarangan pangan, serta peningkatan penyuluhan pertanian. Selain itu, Kemendes dan PDTT membiayai kegiatan sebesar Rp213,4 miliar untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa melalui pendampingan desa, program inovasi desa, dan pembangunan permukiman transmigrasi.
Realisasi TKDD Bali-Nusra
Rata-rata realisasi TKDD wilayah Bali-Nusa Tenggara dalam kurun waktu 2017-2019 mencapai 6,4 persen dari seluruh TKDD. Realisasi tersebut meningkat sebesar 6,9 persen dari Rp48,3 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp51,6 triliun pada tahun 2019. Realisasi DAU masih menjadi transfer terbesar disusul dana Transfer Khusus (DTK), Dana Desa, DBH, dan pendanaan lainnya.
Realisasi DAU dalam kurun waktu 2017-2019 di wilayah Bali-Nusa Tenggara rata-rata sebesar Rp29,5 triliun atau 7,3 persen dari seluruh DAU dan merupakan porsi terkecil dibandingkan wilayah lainnya, dengan pertumbuhan realisasi 5,3 persen.
Untuk 2019, DAU masih menjadi komponen TKDD terbesar di Bali-Nusa Tenggara. Terdapat penambahan DAU pada tahun 2019 sebesar Rp422,1 miliar, dimana 57,3 persen digunakan untuk DAU Tambahan Bantuan Iuran pada 42 pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan digunakan untuk DAU Tambahan lainnya pada 35 pemerintah provinsi/kabupaten/kota.
Sementara itu, proporsi DBH untuk wilayah Bali-Nusa Tenggara terhadap DBH Nasional dalam kurun waktu 2017-2019 mencapai rata-rata 2,0 persen dengan rata-rata per tahun mencapai Rp1,9 triliun. Provinsi penerima DBH terbesar adalah Nusa Tenggara Barat karena didukung oleh kekayaan sumber daya alam yang cukup besar terutama mineral. Penyumbang DBH terbesar adalah PPh sebesar Rp453,1 miliar (33,4 persen), SDA pertambangan umum sebesar Rp327,4 miliar (24,1 persen), Cukai sebesar Rp313,4 miliar (23,1 persen), dan PBB sebesar Rp229,0 miliar (16,9 persen).
Dana Transfer Khusus di wilayah Bali-Nusa Tenggara sebagian besar untuk DAK Non
Fisik dengan porsi 56,2 persen. Realisasi DAK Fisik dalam kurun waktu 2017-2019 di wilayah Bali-Nusa Tenggara mencapai rata-rata Rp6.618,9 miliar atau 10,5 persen dari DAK Fisik nasional. Sebagian besar DAK Fisik merupakan realisasi di bidang kesehatan dan KB (34,4 persen), bidang jalan (21,5 persen), dan bidang pendidikan (20,9 persen).
DAK Non Fisik di Bali-Nusa Tenggara memiliki realisasi rata-rata Rp6,5 triliun atau 5,7 persen dari realisasi DAK Non Fisik Nasional. Terjadi peningkatan DAK Non Fisik sebesar 90,9 persen dalam tiga tahun menjadi Rp8 triliun pada tahun 2019. Sebagian besar merupakan realisasi DAK Non Fisik untuk tunjangan profesi guru PNSD (TPG) (41,7 persen), bantuan operasional sekolah (BOS) (41,6 persen), dan bantuan operasional kesehatan dan keluarga berencana (10,8 persen).
Pendanaan lainnya di wilayah Bali-Nusa Tenggara selama kurun waktu 2017-2019 dengan rata-rata realisasi sebesar Rp715,5 miliar (2,4 persen dari pendanaan lainnya nasional) atau meningkat 8,5 persen. Seluruh pendanaan lainnya bersumber dari DID. Provinsi Bali menerima DID terbesar di wilayah Bali-Nusa Tenggara yang mencapai Rp443,6 miliar (10 pemda penerima DID). Sebanyak 50 persen pemda di wilayah Bali-Nusa Tenggara menerima DID TA 2019, dengan rata-rata alokasi perdaerah sebesar Rp32,3 miliar dengan penerima tertinggi adalah Kabupaten Badung sebesar Rp74,5 miliar dan Provinsi Bali sebesar Rp68,4 miliar.
Sementara itu, realisasi Dana Desa di Bali-Nusra tahun 2019 mencapai Rp4,8 triliun atau 6,9 persen dari realisasi Dana Desa nasional, dengan jumlah desa sebanyak 4.657 desa. Dana Desa telah mampu menyumbang penurunan jumlah desa tertinggal dan sangat tertinggal di wilayah Bali-Nusa Tenggara. Pada tahun 2014 jumlah desa tertinggal sebanyak 3.046 desa , lalu menurun menjadi 2.347 desa pada tahun 2019. Namun demikian, Dana Desa masih belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di desa dan koefsien gini di Bali dan Nusa Tenggara, dimana terlihat bahwa jumlah penduduk miskin di desa naik sedikit dari 1,40 juta pada tahun 2014 menjadi 1,42 juta pada tahun 2019 dan naiknya koefsian gini dari 0,308 pada tahun 2014 menjadi 0,323 pada tahun 2019.
Arah Pembangunan Wilayah Bali-Nusra
Berdasarkan RPJMN Tahun 2020-2024, pengembangan wilayah Bali-Nusra diarahkan untuk mengembangkan potensi wilayah di bidang pariwisata, peternakan, dan perkebunan serta mempercepat pembangunan manusia. Untuk itu, pemerintah akan mendorong pengembangan komoditas unggulan peternakan, tanaman pangan, dan penyediaan akomodasi dan makanan dan minuman; dan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan.
Beberapa pusat pertumbuhan yang akan dikembangkan, seperti WM Denpasar, DPP Lombok-Mandalika/KEK Mandalika, DPP Labuhan Bajo, TN/KSPN Gunung Rinjani, TWA Gunung Tunak, TN/KSPN Komodo, TN/KSPN Gunung Tambora, TN/KSPN Kelimutu, taman wisata perairan dan lainnya yang dtelah ditetapkan; pengembangan Kota Pelabuhan di Mataram dan Kupang; pengembangan PKSN Atambua dan Kefamenanu termasuk ekonomi kawasan sekitarnya; pengembangan kawasan perdesaan, kawasan transmigrasi, lokasi prioritas kawasan perbatasan, dan pengentasan daerah tertinggal.
Sumber: Nota Keuangan RAPBN 2021